Bab 5
TINGKATAN-TINGKATAN ILMU
(KAWERUH – JAWA)

Kata Tingkatan itu artinya dari jenjang bawah sampai atas untuk menyembah (shalat) kepada Allah (Hyang Widi – Jawa), tingkatannya adalah:
1. Syari’at, artinya artinya pedoman yang sudah ditentukan harus patuh (wajibul yakin), jadi ahli Syari’at itu harus patuh keyakinannya (apa katanya) amalannya menurut hukum halal haram, yang diyakini betul-betul dan hukum membedakan halal dan haram, peraturannya, sembahyang, zakat, fitrah, puasa dan naik haji kalau mampu. Semua dijalankan berdasarkan ikut-ikutan menurut kemauan orang banyak, lalu ikut-ikutan menyembah kepada Allah, menurut peraturan agamanya masing-masing, jadi begitupun wajib harus begitu disebut imannya Wajibul yakin. Bung Karno presiden Indonesia asal dari Ngebang (blitar) sekarang menjadi Presiden Indonesia, dia mengetahui hanya cerita orang banyak, jadi kalau cerita itu salah, kepercayaan itu tetap salah. Umpama diteliti (telaah) pendapat tadi dengan jernih, tingkatan Syari’at setiap hari menunjukkan kedisiplinan bertindak menurut hukum yang ditentukan. Mengenai tentang pendapat Prof. Dr Usman dekan markas Angkatan Darat berbicara begini; ngerjakan rukun Islam itu pertama menanam rasa disiplin, jiwa atau jasmani, membersihkan diri , mempunyai semangat yang tinggi, watak kasih sayang, selalu sedekah (memberi pertolongan bagi yang membutuhkan), budi pekerti yang tinggi, yang saya lihat; saya bangun bagi lalu belum sembahyang (shalat) merasa malu kalau disebut bukan orang muslim, jadi berbuat karena malu.
2. Tarikat, meningkat mencapai kebathinan (Qalbu – Arab), melaksanakan puasa mengendalikan pikiran. Jadi tarikat itu melaksanakan berdasar pengetahuan mengendalikan pikiran (mengasah pikiran), membaca buku-buku agama, wirid, berguru, bertanya, dan musyawarah tentang ilmu Allah. Tarikat mempergunakan pikiran untuk mengupas (mencari) tanda-tanda saksi Allah. Jadi tahu kalau basil-basil itu hidup memiliki apa, membuat keyakinan menguat. Zaman dahulu para ahli kitab masih termasuk tingkatan Tarikat, artinya hanya tahu saja (mengerti), karena pengetahuan sudah mantap lalu imannya disebut Ainul Yakin, contohnya begini; pengetahuan (mengetahui) kalau Bung Karno itu Presiden, memang sudah melewati Istana Presiden dan mendengarkan pidatonya, jadinya kira-kira rumah Bung Karno sudah Tahu tetapi belum pernah jumpa dengan Bung Karno sendiri. Tataran (tingkat Tarikat) itu walaupun sudah mengetahui tidak pernah meninggalkan Syari’at agamanya, jadi Tarikat itu hanya naik kelas (tingkat). Pada tingkatan itu para pengikut menerima ajaran guru seperti berpuasa, tekadnya hanya meniru sifatnya Allah saja, sucinya dan adilnya, disitulah terbukanya ilmu itu supaya keterima ilmunya harus praktek (shalat Tarikat) mengendalikan pikiran. Ahli Tarikat itu bisa membedakan yang benar dan yang salah dari orang lain ataupun diri sendiri, lalu bisa mempunyai sifat kasih sayang dan sayang kepada seluruh umat-Nya (Allah), besar wibawanya, mengetahui kemauan dirinya sendiri. Semua itu membuat terbuka hatinya. Apa sebabnya kita harus kasih sayang kepada umat-Nya (Allah), yang mengendalikan hawa nafsu (mengupas hawa nafsu). Menurut Wedaran Wirid Tarikat itu jalannya hati (Qalbu), karena hati mempunyai kemauan yang sangat cepat seperti kilat, lalu Tarikat memerangi pengaruh yang berupa keinginan yang timbul dari hati.

3. Hakikat, yang disebut Hidayat Jati, Hakikat itu Shalat sejati yang tidak merasa geraknya aku (jasmani, pikiran, perasaan sudah disingkirkan / dikendalikan), jadi gerak (makarti-jawa) aku tidak merasakan aku. Hakikat itu imannya para Mukmin (Aulia), imannya disebut Haqkul Yakin, artinya Nyata (benar). Percaya kalo Bung Karno menjadi Presiden karena sudah masuk rumahnya tetapi belum jumpa langsung/berhadapan dengan Presiden Sukarno (Qalamullah – Arab). Ditingkat itu terbukanya Kijab atau batas antara manusia dengan Allah (kawulo – jawa), cocok dengan Hadist Nabi : “siapa yang betul-betul mengetahui dirinya benar mengetahui Allahnya”, karena Hakikat itu Sembahnya (Shalat) Roh (jiwa), keadaannya diliputi tidak merasa apa-apa, lalu para ahli suluk, Sufi, tapa dan mempunyai pendapat atau keterangan begini : “aku ini tidak ada, yang ada yang mengadakan (yang menciptakan)”, keterangan atau ketentuan tadi membuktikan sempurnanya Hakikat dan bisa menguasai jasmaninya melalui Rohaninya, kata lain sifat dan Hakikatnya DAT sudah menyatu (manunggal-jawa). Di tingkat yang begitu sebutan sakit, pening/pusing, panas, dingin dan mati itu tidak ada, yang benar yang disebut menyatu (Widhatul Wujud – Arab). Di kitab Suluk disebut begini : “hatinya yang beriman berdirinya Roh kita”, Hakkikat itu menuju sejatinya kemauan, yaitu tingkatan jiwa yanng menyerahkan diri pada Allah (Hyang Widi – jawa), karena sudah tidak mempunyai perasaan tidak ikut-ikut memilki, Iktikat itu serupa dengan menyebut serupa yang disebut satu, perjalanan sehari-hari orang yang sudah begitu menurut aku pada kemauan DAT (sifatnya Dat).
4. Ma’rifat, tingkatan itu imannya para Arifin yang disebut Isbatul Yakin, artinya sudah sempurna, sempurna keterangannya begini : sudah kerumah Bung Karno, sudah salaman dan berbicara langsung/berhadapan dengan Bung Karno. Keterangannya sudah Ma’rifat semua ilmu, pengetahuan, amal ibadah, filsafat dan lain-lainnya sudah menjadi satu, sudah mengetahui sebab dan akibat, disebut diwirid Hidayat Jati : Zikir azalalah, artinya zikirnya rasa didalam alam cahaya disebut zikir Ma’rifat, sempurnanya tidak merasa apa-apa. Keterangan tersebut diatas tadi disebut tingkatan Islam. Kata Islam sebenarnya bukan agama, itu hanya kebisaaan orang mengatakan, jadi nama-nama agama menurut yang menyiarkan, umpama agama Budha yang menyiarkan Sang Budha, Kristen yang menyiarkan Yesus Kristus, jadi agama Islam disebut agama Muhammad, artinya tidak menjadi masalah, sebab yang menyiarkan Nabi Muhammad, Islam itu kata-kata penerangan (menunjukkan) sesuatu, barangnya tidak bisa dijangkau tetapi bisa dirasakan, jadi Islam itu sesuati iktikat yang luhur (suci). Kata suci keterangan lahir dan batin, kasar dan halus (nampak dan gaib), tidak bisa berubah. Kata suci (Islam) itu artinya tidak apa-apa (tidak bisa dijangkau), itu sebabnya kata Islam disebut suci bisa dikatakan telah bersujud pada Allah. Kata bersujud (pasrah) itu bukan main-main, hanya yang bisa yang melaksanakan Nabi, Wali, Aulia, Pandita, Guru yang sudah semprna. Bukti untuk sehari walaupun hanya kata-kata (nama) sebagaimana tertera dalam wirid Hidayat Jati itu, tidak ada apa-apa, jika diteliti kata tidak ada apa-apa tadi waktu menginjak dunia yang pertama dikatakan lahir didunia melalui tidak tahu apa-apa. Jadi kata sehari-hari Islam yang kita bicarakan dari bahasa Arab, artinya bersujud suci (sunyi senyap tidak ada apa-apa), jadi bebasa dari keinginan. Dalil di kitab Al Qur’an surat Al-Baqarah : 131 :


“ketika Allah berfirman, “kamu harus Islam bersujud kepada Allah”, Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".

Jadi yang namanya Islam itu umpama sudah menjalani yang empat tingkatan tadi dari yang Syari’at, lalu mencapai tingkat Ma’rifat disebut bersujud (Islam/suci) terhadap Dat yang wajib adanya, berdasarkan ukuran Layu kayafu (tidak bisa dijangkau), artinya jika kita mau bersujud (sumarah-jawa) harus memakai pakaian Layu Kayafu (tankeno kinoyo ngopo – jawa), contoh : jika tentara mau menghadap Presiden harus memakai pakaian seragam lengkap, pangkat, sikap tegak dan lain-lain baru dapat diterima, apalagi manusia menghadap Allah, harus lebih lengkap lagi, umpama Tauhid, pikiran bersih, hati bersih, pasrah, tidak ingin apa-apa (merasakan apa-apa) dan Islam, itu baru tingkat Ma’rifat.
Jadi menjadi Islam itu kalau sudah bisa menyingkirkan aku pribadi, yaitu sudah diterima At-tauhidnya, sementara orang bisaa memerlukan makan, lalu belajar Ma’rifat selagi masih hidup, kalau tidak lulus (mencapai Ma’rifat) lain perkara, rahasianya begini : siapa yang (waktu) didunia belum bisa Islam (sumarah) nyerah diri, tidak bisa meninggalkan keduniaan At-tauhid (menyatu), kalau sewaktu Sekaratil maut (menjelang ajal)/koma, akan mengalami yang menakutkan dan mengalami seperti dialam kubur, sebaliknya umpama bisa At-tauhid (Islam) suci menghadap kepada Allah; itu nanti kalau Sekaratil maut (menjelang ajal) Insya Allah langsung menghadap kepada-Nya (Allah) yang disebut Inalillahi Wa inalillahi Roji’un, kalau Budha melewati alam Nirwana. Orang yang sudah Ma’rifat itu disebut Arifin, artinya Muslim, siapa yang ingin mencapai tingkatan Ma’rifat, contohnya seperti dalil dibawah ini, pesan Nabi Ibrahim As dan Nabi Yakub kepada anak cucu; Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 132 ;

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati sebelum jadi Islam (Ma’rifat)"

Jadi jelas sekali yang ditakuti sewaktu Sekaratul Maut (menjelang ajal). Keterangannya begini : siapa yang hidup mencapai Islam, maka seperti sudah bisa menghadap dihadapan Allah (lihat tentang Bab pengetahuan mati), karena Islam itu bagi orang Ma’rifat menjalaninya melalui jalan yang tidak bisa dijangkau (Layu Kayafu), hanya sekali itu sudah menjadi Islam, ada yang selalu mengalami, ada yang seumur hidup hanya sekali, tergantung dengan yang menjalani. Menurut Dalil tadi para leluhur agama Islam pasti tujuannya suci. Jadi Islam suci sesungguhnya sudah diuji pada zaman sebelum Nabi Muhammad, jadi Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Isa as dan Nabi Muhammad SAW itu satu tujuan, yaitu Islam (mencapai Ma’rifat).
Menurut Kyai Agus Salim, Islam berasal dari bahasa Arab, asalnya kata Salama, artinya Selamat, sentosa tidak kurang dan tidak rusak. Kata tadi menjadi kata Aslama, kata tadi berusaha menyelamatkan (menyucikan) dari yang tidak baik, pertama pada diri pribadi, kedua pada manusia dan makhluk-makhluk-Nya. Selain itu kata Aslama itu sama dengan pasrah menghadap kepada Allah, jadi kata Islam itu sudah mengandung arti keseluruhan.
Dari keterangan diatas agama Islam itu Azazan, perintah untuk menyelamatkan manusia dan alam raya seisinya, selain dari itu kata Aslama artinya menyerahkan diri sepenuhnya, jadi kata Aslama itu pokoknya kata Islam. Kata Islam berarti sumber dari segala kata (pokoknya). Dari keterangan di atas, kata Islam itu bukan sekedar nama, umpama Hindu, Budha, Kristen, kata-kata tadi artinya supaya dipahami menurut buktinya (artinya).
Agama Islam itu ajaran, perintah dan petunjuk manusia dan alam seisinya tunduk kepada Allah, jadi harus dinyatakan dengan gerak, kata-kata, budi pekerti untuk menjaga keselamatan dunia dan akhirat.
Kata Kyai Agus Salim seperti diatas itu umpama diteliti dengan benar, menunjukan perbedaan antara satu agama dengan agama lain, singkatnya agama-agama tadi tidak satu tujuan dengan agama Islam, jadi Islam, Budha, Kristen itu hanya nama agama.
Menurut dasar surat A-Israa : 15 terdahulu (Bab I ), semua itu hanya sebutan sekedar nama, tidak beda sebutan (nama-nama), ada yang mengatakan Allah, Got Theo, Gusti Allah, Hyang Widi dan lain-lain, itu semua yang memberi nama hanya manusia sendiri. Menurut Wirid (ajaran) kata Islam itu sebutan salah satu agama, bukan kata sebutan, tetapi kata Saik yang artinya seluruh manusia tidak membedakan agamanya yang penting bisa menyatu dengan Allah (At-tauhid). Sebenarnya kata Islam itu Ma’rifat, akan tetapi ada kata Budha, Islam sejati. Islam sejati itu hanya untuk orang jika dicubit merasa sakit.
Arti Rahasia hanya tanda yang digunakan oleh orang yang membutuhkan tetapi semangat saja yang sama, yaitu mencari kebenaran Allah.
Kata Ma’rifat itu asal dari bahasa Arab yaitu Arafah, artinya melihat, tetapi bukan memakai mata atau pikiran (pengetahuan). Kata-kata melihat itu bukan pakai mata tetapi mengarah ke ilmu, dan Ma’rifat itu tahap mengetahui Wirid (pelajaran); melihat Allah tidak memakai alat mata dan tidak memakai pikiran. Melihat Allah terhadap Wirid artinya siapa saja bisa mencapai Ma’rifat, tetapi apa yang akan di Ma’rifati jika tidak tahu tentang hal ketuhanan (Allah), dan Ma’rifat itu bertekad, sudah pandai melakukan Zikir, Sholat Tauhid, Semadhi (Yoga) saja tetapi disertai ta’at, patuh dan yakin kepada agamanya. Umpama ta’atnya para ahli Syari’at hanya karena takut kepada peraturan; sholat, puasa, zakat, fitrah, naik haji merasa sudah menjadi Islam. Tetapi terhadap Ma’rifat selain menurut perintah agama lalu disertai tekun (kuat) terhadap sesuatu tujuan sehingga patuh (ta’at) terhadap tujuan untuk membuktikan Allah itu ada. Orang olah (melatih) batin terhadap orang Ma’rifat itu membuktikan bukam gampang, sebab orang-orang itu batinnya sudah memiliki sifat Allah, umpama sifat kasihnya yang biasanya lalu menjadi watak kasih sayang terhadap sesama. Kata Kasih Sayang menurut Allah (Rahman dan Rahim- Arab), tidak beda-beda, buktinya para Nabi, Wali, Mukmin semua mempunyai sifat kasih sayang, sudah ditujukan untuk diri sendiri menjadi untuk semua (universal), walau begitupun masih ada ingin perang dan membunuh musuh, begitulah orang yang sudah mengerti bahwa perang atau membunuh musuh itu mestinya pasti merusak rumah tangga. Tetapi terhadap orang yang sudah mengetahui rahasia alam, itu tidak mengherankan hanya menjadi kewajiban (tugas). Perang dan membunuh terdorong oleh kasih sayang dan suci, daripada menjadi hancurnya dunia (merusak ketentraman), maka harus dibunuh (dimusnahkan). Jadi para bijaksana melaksanakan tadi sama menuju keselamatan dunia, tujuannya menyelamatkan dunia dari semua penghalang, begitulah eloknya/sempurnanya Ma’rifat.

*******